Archive for February 2013

Wayang Sunda






Meruntut sejarah Sunda dan Jawa, huruf âFâ pertama kali dibawa dan diperkenalkan oleh pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad ke-13. Bangsa Arab memiliki lafal âFâ dari huruf asli âFaâ yang banyak digunakan dalam kosa kata mereka yang tersebar baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang keagamaan.

Memang Islam lebih dulu memasuki suku Jawa dibanding suku Sunda. Tingkat penyebaran awal juga lebih luas dengan berdirinya kerajaan Demak yang disokong oleh Wali Sanga-nya.

Berdasarkan sumber sejarah tertulis, Carita Parahyangan, Islam dibawa ke Tatar Sunda oleh Bratalegawa, atau Haji Purwa, seorang saudagar dan pelayar besar yang juga merupakan anak Sang Bunisora -penguasa kerajaan Galuh. Ia menikah dengan seorang muslimah Gujarat, kemudian masuk Islam dan kembali ke Galuh pada tahun 1337 Masehi serta menyebarkan Islam di Cirebon (Caruban) Girang. Namun proses islamisasi Tatar Sunda secara massal baru pada abad ke -16, dengan adanya peran Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati di Cirebon. Dengan kedudukannya sebagai salah satu Wali Sanga, beliau mendapat dukungan dari Kerajaan Demak secara penuh. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke Tatar Sunda lainnya, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh (Kawali-Ciamis), Sunda Kelapa dan Banten.

Untuk kasus di Jawa, modus penyebaran islam yang bergerak dari pesisir ke pedalaman membuat kita mudah memahami mengapa di daerah pedalaman, masih terdapat masyarakat, khususnya generasi sepuh, yang kesulitan melafalkan âFâ, misalnya ketika mengucapkan kata âfilmâ (bahasa inggris) menjadi âpilemâ. Tapi secara general, hampir seluruh suku Jawa tidak kesulitan dalam melafalkan huruf âFâ.

Sedangkan di Tatar Sunda, kesulitan pelafalan âFâ hampir menyeluruh dari pesisir pantai utara sampai pesisir pantai selatan, dari generasi tua sampai generasi sekarang. Kenapa? Saya mencoba menganalisisnya dan membuat teori untuk menjawabnya.

Huruf âFâ lebih banyak tersebar ke masyarakat Jawa dan Sunda melalui bidang dakwah. Sebab bidang perdagangan hanya menyentuh beberapa gelintir masyarakat di daerah pesisir. Bedanya adalah mekanisme internalisasi Islam berikut budaya lisan dan tulisan yang melekat padanya.

Huruf âFâ lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa akibat internalisasi Islam beserta budaya ikutannya (termasuk huruf âFâ) yang dilakukan melalui metode yang mudah diterima dan dipraktikan. Beberapa anggota Wali Sanga di Jawa banyak menggunakan media seni dan budaya. Yang paling fenomenal adalah peran Sunan Kalijaga dalam mengembangkan wayang purwa atau wayang kullit yang bercorak islam. Beberapa sunan lainnya juga dikenal sebagai ahli gubah tembang Jawa. Sunan Bonang (R. Makhdum Ibrahim) yang dianggap sebagai pencipta gending bermuatan islam. Sunan Drajat (R. Syarifudin) yang terkenal sebagai penggubah tembang Pangkur. Sunan Kudus (Jaâfar Shadiq) yang terkenal dengan gubahan gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Muria (R. Umar Said) yang menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.

Melalui media seni dan budaya inilah, Islam dan budaya ikutannya menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu, masyarakat agraris dengan komunikasi âgetok tularâ. Dengan media seni, akulturasi kebudayaan, termasuk penggunaan dan pelafalan huruf âFâ menjadi lebih mudah. Sebab ia tidak hanya digunakan saja dalam ranah ritual di masjid-masjid saja, tetapi budaya ikutannya telah memasuki ranah setiap sendi kehidupan masyarakat, melalui tembang-tembang yang dinyanyikan, melalui pertunjukan-pertunjukan seni yang mereka nikmati.

Sunan Gunung Jati juga memiliki keunikan pendekatan dakwah melalui bidang pengobatan. Naskah-naskah kuno Cirebon hampir seluruhnya memberikan informasi tentang peran Sunan Gunung jati sebagai seorang tabib.

Pendekatan dakwah âto the pointâ membuat sedikit batas akulturasi kebudayaan Islam dengan budaya asli Sunda, khususnya penyerapan huruf âFâ dalam budaya lisan Sunda. Huruf âFâ hanya hidup di ranah agama, di lingkungan masjid. Akan tetapi huruf âFâ tidak hidup dalam bidang kehidupan sehari-hari lainnya.

Analisis masalah kesulitan pelafalan huruf âFâ oleh suku Sunda di atas baru dilihat dari sisi kemungkinan mekanisme akulturasi kebudayaan yang dominan. Sangat mungkin bahwa penyebab utamanya bukan karena itu. Misalnya pengaruh anatomi mulut masyarakat sunda dahulu. Atau pengaruh prestise trend pelafalan para elit Tatar Sunda waktu itu, seperti tren pengucapan âkanâ menjadi âkenâ pada masa orde baru. Semoga ahli bahasa Sunda, sejarah dan anthropolog ada yang berminat meneliti masalah ini.

Terima Kasih !

ââââââââââââââââââââââââââââââââââââ
ââââââââââââââââââââââââââââââââââââ
pertanyan penting buat warga INDONESIA!!!!?
Q: yang ngasih nama INDONESIA tuhhh siapa sihhh????

A. Kata "Indonesia" berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti "India" dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau".[4] Jadi, kata Indonesia berarti wilayah India kepulauan, atau kepulauan yang berada di India, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat.[5] Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan India atau Kepulauan Melayu".[6] Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.[7] Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 oleh novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).[8]

Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkaran akademik diluar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.[9] Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884â1894. Pelajar Indonesia pertama yang mengunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers-bureau di tahun 1913.[5]

Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006,[3] Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden yang dipilih langsung. Ibukota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.

Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah sekitar 350 tahun penjajahan Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.

Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah grup etnis terbesar dan secara politis paling dominan. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika" ("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi besar dan wilayah yang padat, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.
Betawi..??
Q:

A. Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Ada juga yang berpendapat bahwa sukubangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi (proto Betawi]]. Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Wayang Kulit

Wayang Kulit

WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.










Asal Usul
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

Kesenian Wayang Golek

1. Asal-usul
wayang golek
Wayang Golek berbeda dengan wayang kulit. Namun kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan.Menurut cerita Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun ‘wayang purwo’ sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970–1980.
3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
4. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
Artikel ini diambil dari : Nisfiyanti, Yanti. 2005. “Wayang Media Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya pada Masyarakat Sunda” (Laporan Hasil Penelitian).
Dengan demikian selayaknya kita sebagai bangsa Indonesia melestarikan peninggalan kebudayaan Wayang Golek.


1. Asal-usul
wayang golek
Wayang Golek berbeda dengan wayang kulit. Namun kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan.Menurut cerita Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun ‘wayang purwo’ sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970–1980.
3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
4. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
Artikel ini diambil dari : Nisfiyanti, Yanti. 2005. “Wayang Media Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya pada Masyarakat Sunda” (Laporan Hasil Penelitian).
Dengan demikian selayaknya kita sebagai bangsa Indonesia melestarikan peninggalan kebudayaan Wayang Golek.

Lukisan Wayang Beber

Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik Mahabharata maupun Ramayana.
Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamentik yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta diberi tokoh tokoh tambahan yang tidak ada pada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India) diantaranya adalah Semar dan anak-anaknya serta Pusaka Hyang Kalimusada.

Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang. Perlu diketahui juga bahwa Wayang Beber pertama dan masih asli sampai sekarang masih bisa dilihat. Wayang Beber yang asli ini bisa dilihat di Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara.

wikipedia
***


Usia teater tutur ini sudah amat tua, sekurang-kurangnya sudah ada sejak zaman Majapahit (menurut berita Cina tahun 1416). Sisa-sisanya masih terdapat di Pacitan dan kemungkinan hampir punah karena seni ini tidak dapat diajarkan kepada orang-orang lain kecuali keturunannya saja, takut terhadap pelanggaran pantangan nenek moyangnya.
Wayang Beber hanya dipentaskan untuk upacara ruwatan atau nadar saja. Wayang ini berbentuk lukisan di atas kertas, dengan roman seperti wayang kulit purwa hanya kedua matanya nampak. Sikap wayang bermacam-macam, ada yang duduk bersila, sedang berjalan, sedang berperang dan sebagainya. Lukisan wayang beber berjumlah 6 gulung, dan tiap gulung berisi 4 jagong atau adegan.
Dalang menggelar tiap gulungan tiap gulungan dengan cara membeberkannya di atas kotak gulungan.
Urutan pertunjukkan :
1. Dalang membakar kemenyan, kemudian membuka kotak dan mengambil tiap gulungan menurut kronologi cerita.
2. Dalang membeberkan gulungannya pertama dan seterusnya, dengan membelakangi penonton.
3. Dalang mulai menuturkan janturan (narasi).
4. Setelah janturan, mulailah suluk (Lagu penggambaran) yang amat berbeda dengan umumnya suluk wayang purwa
5. Setelah suluk, dimulailah pocapan berdasarkan gambar wayang yang tengah dibeberkan. begitu seterusnya sampai seluruh gulungan habis dibeberkan dan dikisahkan.

Seluruh pertunjukkan diiringi dengan seperangkat gamelan Slendro yang terdiri dari rebab, kendang batangan, ketuk berlaras dua, kenong, gong besar, gong susukan, kempul. Penabuhnya cukup 4 orang saja yakni sebagai penggesek rebab, petigendang, penabuh ketuk kenong, dan penabuh kempul serta gong. Patet yang digunakan hanya patet nem dan patet sanga.
Lama pementasan hanya sekitar satu setengah jam saja, dapat dilakukan siang hari ataupun malam hari.
Setiap pagelaran wayang beber harus ada sesaji yang terdiri dari kembang boreh, ketan yang ditumbuk halus, tumpeng dan panggang ayam, ayam hidup, jajan pasar (kue-kue) dan pembakaran kemenyan. Untuk upacara ruatan atau bersih desa perlu ada tambahan sesaji berupa sebuah kuali baru, kendi baru dan kain putih baru.
Sumber : .PERKEMBANGAN TEATER DAN DRAMA INDONESIA
Pengarang : Jakob Sumardjo
Penerbit : STSI PRESS Bandung, 1997
ISBN : 979-8967-08-9

***
TEMPO Interaktif, Pacitan – Dinas Kebudayan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Pacitan akan mengembangkan seni wayang beber kedalam berbagai media seni lainnya baik seni lukis, seni tari, drama, dan sebagainya.

Kepala Dinas Kebudayan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Pacitan, Mohmamad Fathoni, mengakui jika pementasan wayang beber selama ini cenderung monoton dan kurang menarik. “Pementasannya cenderung monoton dan membuat penontonnya bosan. Makanya kami akan mengembangkannya untuk ditampilkan dalam seni lukis, seni tari, drama, seni cetak sablon, dan media seni lainnya yang modern dan kontemporer,” ungkapnya, Rabu (14/4).
Pementasan wayang beber memang tidak sekompleks seperti wayang kulit. Sang dalang hanya menceritakan jalan cerita romantika tokoh Panji dan Dewi Sekartaji yang digambarkan dalam beberapa lembar gambar dengan diringi musik gamelan. “Mudah-mudahan jika dituangkan dalam media seni lainnya akan semakin menarik sehingga bisa terus dilestarikan oleh generasi muda,” kata Fatoni.
Apalagi, dalang untuk wayang ini tidak boleh sembarang dilakonkan setiap orang. “Selama ini yang boleh jadi dalang hanya yang satu keturunan dari dalang pertama,” katanya. Hingga kini dalang tua yang berhak memainkan sudah mencapai generasi ke-13 yakni Ki Mardi Guno Carito, yang sudah berumur lebih dari 70 tahun.
Namun untuk tetap melestarikannya, akhirnya dilantik dalang muda meski diluar keturunan dalang pertama. Sang dalang muda, Rudi Prasetyo, menyambut baik pelestarian yang digagas Dinas Kebudayan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga (Disbudparpora) setempat.“Sebab wayang beber merupakan salah satu kesenian asli Pacitan dan generasi muda memang tidak terlalu tertarik. Semoga dengan dikembangkan ke media seni lainnya akan tetap eksis dan lebih menarik,” jelas dalang yang masih berusia 26 tahun ini.

Seni Lukis Dari Lumpur

Ini Dia Seni Lukis Unik ...........

Hanya menggunakan Media LUMPUR saja , dapat Menghasilkan Lukisan Yang Begitu Indah.......
Dan harganya Lumayan Tinggi......











http://www.rusemoes.com/upload/galleries/176.jpg


Makanya Ayo anak Indonesia Terus Berkreativitas Agar Sukses

Lukisan Pasir paling unik

Seni adalah wujud kebebasan berekspresi tanpa bersifat mengikat dengan pola-pola yang diterapkan. Semua media bisa menjadi sebuah karya tergantung dari para kreatornya.
Seperti halnya melukis dengan menggunakan pasir yang saat ini tengah menarik perhatian. Pasalnya dari pasir sudah bisa muncul sebuah karya yang tak kalah bagusnya dengan lukisan yang menggunakan kanvas dan cat. ternyata seni melukis pasir banyak sekali medianya, mulai di atas kaca, meja hingga di panatai sekalipun.

Imajinasi para seniman yang mewujudkan sebuah karya yang tak pernah kita duga sebelumnya. Berikut sebuah masterpiece dari pasir yang diciptakan oleh para seniman

1. Persembahan Biksu Tibet

Empat biksu dari Tibet membuat sebuah karya yang begitu menakjubkan. Sekilas nampak seperti lukisan dengan menggunakan cat, namun semua itu dibuat dengan pasir yang telah diberi warna.

Terbayang seperti apa rumitnya dan membutuhakn kesabaran intuk menyelesaikan lukisan ini. Kedetilan karya dan penempatan warna patut diacungu 2 jempol. Lukisan ini akan dijual untuk pengumpulan dana untuk pendidikan rakyat Tibet

2. Y Lan Dengan Keajaibannya

Kagum dengan pasir pantai yang berbeda warna membuat wanita asal Vietnam ini tertraik untuk membuat sebuah lukisan. Pada awalnya dia membuat lukisan dengan menggunakan 3 warna pasir yang ia kumpulkan. Berkat kedetilan dan imajinasinya karya Y Lan pun diakui di sleuruh Asia, Eropa dan Amerika Utara.

Karyanya yang murni pasir tanpa ada tambahan pewarna menjadi keunikan tersendiri. Kini Y Lan berhasil mengumpulkan 80 pasir dengan warna berbeda-beda dari seluruh negara.

3. Lukisan Pasir di Pantai

Tak ingin terbatasi soal media dalam pembuatan karya, seniman ini langsung membuatnay di atas pasir pantai. Walau kelihatannya mudah, namuns ebenarnya rumit. Pasalnya dia harus menghitung skala agar semua presisi dengan apa yang diinginkannya.

kendalal lain adalah panas terik matahari serta pasang surut air laut. Namun semuanya bakal sepadan dnegan jerih payah yang telah dilakukan.

4. Pesan Dalam Lukisan

Selain menunjukkan nilai estetika, lukisan pasir juga bisa menjadi media untuk penyampaian pesan. Dengan pantai sebagai kanvasnya membuat pesan ini terbaca jelas oleh para pengunjung pantai.

5. Lukisan Pasir Dalam Botol

Selain kaca, pantai dan meja, ternyata seni lukis pasir juga bisa diterapkan dalam botol. Entah bagaiman mereka memasukkan pasir yang tekah kasih pewarna ini ke dalam botol hingga terbentuk sebuah gambar yang bagus. Botol-botol lukisan pasir ini menjadi cindera mata di sebuah negara, cukup unik bukan.

6. Lukis Pasir Animasi

Untuk genre ini bisa kita lihat pada salah satu kontestan Indonesia Mencari Bakat, Vina Candrawati. Ternayat selain Vina di Indoneisa ada juga Danny Drako seoarang pesulap yang menekuni seni ini sejak tahun 2011.

Disebut animasi lantaran lukisan ini menampilkan siluet bergerak dan menceritakan sesuatu dalam prosesnya. Seni ini cukup rumit lantaran harus menyesuaikan tema dan imajinasi.

Seni Ukiran Buah Part II

Seni memang tidak mengenal batas dan juga media apa yang akan digunakan, Namun karya seni yang baik adalah karya seni yang bisa memukau para penikmat nya. Media seni memang tidak terbatas pada pakem yang telah ada, namun mempunyai pengertian yang luas, seperti halnya seni ukir dibawah ini. UnikQu Blog Berhasil mengumpulkan beberapa buah koleksi seni ukir ataupun hasil seni yang menarik yang di buat dengan media buah-buahan dan sayur-sayuran, Coba lihat gambar dibawah ini:

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah

Seni Ukir Buah Menarik Dan Unik

Seniman tidak akan disebut seniman kalau tidak kreative dalam menuangkan ide-ide seninya. mulai dari kanvas sampai ke tubuh manusia, dari sebidang tanah sampai jalan raya, dari dinding butiran pasir sampai bongkahan batu, dipakai sebagai tempat ekspresi rasa seni yang mereka punya.
Nah, kali ini yang dipakai sebagai tempat mencurahkan seninya, terhitung cukup unik, karena masih jarang, yaitu lewat buah-buahan. Hanya catatan kecil, sebenarnya, seni ukir buah-buahan ini sudah ada sejak 1000 tahun lalu di Asia, bahkan di Indonesia hal ini masih berlangsung sekarang (seperti menghias tumpeng), tapi tidak se-kreative dan seindah jika seniman sejati yang melakukannya.

Cek saja photo-photo berikut,


Seni Ukir - Pahat Buah dan Sayuran Yang Menakjubkan

seni ukir buah dan sayuran

seni ukir buah dan sayuran

seni ukir buah dan sayuran

seni ukir buah dan sayuran

seni ukir buah dan sayuran

seni ukir buah dan sayuran

seni ukir buah dan sayuran

seni ukir buah dan sayuran

- Copyright © Art Of Soerek - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -